AKTIVITAS HALAMAN 151
NO 1.
BAHAN TENTANG
KELOMPOK MAYORITAS DAN MINORITAS
Kelompok Mayoritas dan Minoritas
Harus Saling Memahami
Jakarta, CyberNews. Kelompok mayoritas dan minoritas harus saling memahami dan
melindungi hak dan kewajiban masing-
masing kelompok, demikian
disampaikan Sekretaris Kabinet, Dipo Alam. "Agar sama-sama mencegah penistaan
agama, dan bersama pula mencegah kekerasan antarumat beragama," katanya di
Jakarta, Rabu (9/3).
Dipo mengingatkan agar dalam
melakukan gerakan politik terselubung, kelompok lintas agama eksklusif tidak
mengusung soal agama, dan menamakan sebagai gerakan moral.
Ia meminta semua pihak menghormati
pluralisme dalam beragama sesuai dengan UUD dan turunannya dalam SKB Tiga
Menteri, bukan dengan mengorbankan kepahaman antara hak dan kewajiban minoritas
dan mayoritas.
Ditegaskannya, pemerintah sangat
serius dalam memperhatikan hak dan kewajiban antarumat beragama baik
berdasarkan konstitusi maupun pengadilan/hukum bila terjadi konflik kekerasan.
"Tidak perlu lagi diajari, kita
masing-masing tahu makna dalam asas Pancasila. Janganlah satu dua kejadian,
yang bersama kita kutuk sebagai kekerasan dengan alasan keyakinan agama,
kemudian seolah dengan mudah digeneralisasikan menganggap pemerintah lalai dan
melakukan pembiaran kekerasan," ujarnya.
Konflik umat Islam dengan Ahmadiyah
sudah berlangsung lama, tidak hanya terjadi di pemerintahan di bawah Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono. Dipo mengingatkan, tokoh agama memiliki tanggung
jawab yang sama dengan pemerintah, baik di pusat maupun daerah, di era
demokrasi sebagai pemangku kekuasaan, termasuk juga media untuk bersama-sama
menyejukkan kerukunan beragama.
"Bukan sebaliknya, gaduh
memperkeruh kerukunan beragama antara minoritas dan mayoritas. Ingat, konflik
horizontal yang pernah kita alami sangatlah pahit dan memilukan. Itu memerlukan
waktu yang tidak sebentar untuk menyelesaikannya," tegasnya.
Diberitakan sebelumnya, dalam
konferensi pers di Kantor Maarif Institute, Juru Bicara Badan Pekerja Gerakan
Lintas Agama, Fajar Riza Ul Haq mengatakan, gerakan tokoh lintas agama sama
sekali tidak pernah secara kolektif bicara polemik Ahmadiyah.
"Namun kekerasan terhadap
kelompok minoritas harus disikapi serius oleh negara, karena melindungi
minoritas adalah amanat konstitusi, dan yang menjadi titik tekan gerakan
ini," ujarnya
Kelompok Mayoritas-Minoritas sebuah Keniscayaan
|
Reporter: Humaidi
Auditorium, BERITA UIN Online
- Adanya kelompok mayoritas dan
minoritas dalam tatanan sosial kemasyarakatan dan keagamaan merupakan
keniscayaan. Sebab, hal itu sebagai takdir Tuhan, sehingga di dunia mana pun,
tak terkecuali di Indonesia, kedua kelompok tersebut akan selalu ada.
Hal itu dikatakan Pembantu Rektor
Bidang Pengembangan Lembaga dan Kerja Sama UIN Jakarta, Dr Jamhari, pada
seminar bertema "Konflik Minoritas Agama dan Peran Lembaga Pendidikan
Tinggi Islam," di Auditorium Prof Dr Harun Nasution, Sabtu (5/3).
Narasumber lain yang hadir adalah
dosen IAIN Raden Intan, Lampung, Dr. Syamsuri Ali, dosen Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UIN Bandung, Dr. Acep Arifuddin, dan Wini Trianitas. Ketiganya
adalah alumnus Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.
Menurut Jamhari, munculnya
kelompok minoritas dan mayoritas karena diakibatkan oleh beberapa faktor
seperti imigrasi, politik dan ekonomi. Khusus di negara Eropa, faktor
imigrasi merupakan faktor utama. Ia mencontohkan imigrasi umat Islam ke
beberapa negara Eropa yang berasal dari beberapa negara Timur Tengah, seperti
Pakistan, Afganistan, dan Irak.
“Ketika para imigran hadir dengan
jumlah besar dan membentuk sebuah identitas tersendiri, di sinilah muncul
konflik kelompok minoritas dan mayoritas,” kata Jamhari.
Lebih jauh Jamhari menjelaskan
bahwa ketika para imigran tersebut berkelompok dan membentuk sebuah
identitas, maka terjadilah apa yang disebut sebagai perebutan poilitical
identity. Bagi yang minoritas, mereka tinggal bersama dan membangun
jaringannya sendiri. Mereka solid baik dalam ekonomi maupun budaya.
Ada beberpa model yang dilakukan
oleh beberap negara dalam menyelesaikan konflik minoritas dan mayoritas. Jika
melihat kepada sejarah masa lalu akan ditemukan sesuatu yang buruk
telah terjadi. Hal tersebut dikarenakan cara-cara yang digunakannya,
misalnya, pertama, dengan cara pembinasaan, seperti kasus pembinasaan umat
Yahudi di beberapa negara di Eropa atau umat Muslim di Bosnia. Kedua, dengan
cara asimilasi secara paksa untuk mengikuti budaya mayoritas, seperti di masa
Orde Baru. Ketiga, dengan cara mengisolasi kelompok minoritas.
“Negara yang dikuasai oleh agama
justru sangat sulit dalam menyelesaikan konflik minoritas agama, seperti yang
terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Sebaliknya, model negara modern (modern
state) yang memisahkan antara agama dan negara seperti Amerika, Kanada,
dan Selandia Baru cukup berhasil dalam menyelesaikan konflik minoritas dan
mayoritas,” katanya.
Dalam model modern state
ini, jika ada konflik yang berkaitan dengan kelompok-kelompok tertentu, maka
konflik tersebut harus diselesaikan di pengadilan. Walaupun demikian, tidak
seluruh negara yang menggunakan model modern state dapat berhasil dalam menyelesaikan
konflik minoritas dan mayoritas. Contohnya adalah Filifina yang mana
undang-undang yang diterapkan seratus persen mencontek negara Amerika.
Adapun upaya yang telah dan akan
dilakukan oleh SPs UIN Jakarta sebagai lembaga perguruan tinggi Islam dalam
mengatasi konflik mayoritas-minoritas yaitu berpijak pada pemikiran yang
dikembangkan oleh Prof Dr Harun Nasution dalam bukunya Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspek. Menurut Jamhari, Harun Nasution yang mantan Rektor IAIN
Jakarta itu memberikan inspirasi untuk selalu toleran dan melihat agama tidak
hanya satu aspek, tetapi dari berbagai aspek, seperti aspek filsafat, fiqih,
sosial, dan teologi. “Kalau Anda bisa menoleransi perbedaan dalam Islam, maka
Anda bisa menoleransi perbedaan di luar Islam,” katanya.
|
Oleh: Soedjati Djiwandono
Sudah
lama kita hendak diyakinkan dan dibohongi, bahwa dalam masyarakat Pancasila
kita tidak mengenal golongan mayoritas dan golongan minoritas. Sudah saatnya
kita berhenti bermain sandiwara dan membohongi diri sendiri seperti itu.
Yang
penting adalah bagaimana kita dapat hidup damai dengan kenyataan adanya
berbagai golongan dalam masyarakat kita, mayoritas maupun minoritas. Lebih
penting lagi, bagaimana kita menjalin hubungan serta kerjasama secara damai,
saling menerima, saling menghormati, dan saling membantu, antara berbagai
golongan itu dalam masyarakat sebagai suatu bangsa.
Tujuan
utama menjalin hubungan demikian itu adalah menghilangkan prasangka dan
kebencian. Hanya dengan itu kita dapat bersama-sama mengusahakan kesejahteraan
bersama.Jalan ke arah tujuan itu amat jauh, berliku-liku, dan banyak
sandungannya.
Kesulitan
mencapai tujuan itu pernah digambarkan demikian. Seorang perantau bertanya
kepada seorang penduduk desa tentang jalan menuju suatu kota yang menjadi
tujuan berikutnya. Jawabnya, “Terus saja ke selatan, lalu belok ke kiri. Oh,
maaf, jangan, jembatannya rusak di situ. Ikuti saja jalan ke timur. Eh, jangan,
jalan itu terlalu berlumpur.”
Orang
desa itu lalu menengadah ke langit, seakan berpikir. Lalu katanya : “ Kalau
hendak ke kota itu, mestinya Bapak tidak mulai dari sini.”
Masalah
mayoritas-minoritas ini sejak kerusuhan tgl.13-14 Mei yang lalu telah semakin
menonjol dan menjadi perhatian dan bahan pembicaraan luas, khususnya yang
menyangkut orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa. Dapat diduga, lebih banyak
dari kalangan mereka ini dartipada kelompok orang-orang lain, minoritas ataupun
mayoritas, yang menjadi korban penjarahan, pembakaran rumahnya, pembunuhan,
penganiayan, dan perkosaan, yang pasti mengakibatkan penderitaan dan trauma
yang bisa berlangsung lama.
Saya
belum berani banyak berbicara tentang hal ini, karena memang sedang mulai
mempelajarinya lagi, melakukan refleksi, dan tukar-menukar pikiran tentang
masalah mayoritas-minoritas ini.Harus saya akui pula sejak awal, bahwa lebih
mudah bagi orang seperti saya ini berpretensi berpikir lebih jernih, rasional
dan objektif, karena beruntung musibah seperti itu tidak menimpa keluarga ataupun
saudara dan teman-teman dekat saya.
Saya
juga sadar, berbicara tentang masalah mayoritas-minoritas, apalagi di negeri
ini, saya memasuki suatu bidang yang penuh kepekaan, emosi, dan kontroversi.
Tetapi kejujuran, keterbukaan, dan kehendak baik yang mendasarinya memberi saya
keberanian untuk melakukannya.
Menghindarinya
dan pura-pura masalah itu tidak ada, menggunakan pendekatan “burung unta”,
pasti tidak akan membantu memecahkannya. Itulah sikap kita selama ini, juga
dalam banyak hal lainnya.
Tentu
saja, golongan atau kelompok minoritas di Indonesia ini bukan hanya mereka yang
kebetulan keturunan Tionghoa. Ada juga kelompok-kelompok minoritas atas dasar
agama, suku, budaya, atau bahasa. Orang-orang yang beragama Buddha, Hindu,
Katolik, Kristen-Protestan, atau suku Batak, Toraja, Aceh, dsb., juga merupakan
kelompok-kelompok minoritas.Tetapi anehnya, mungkin karena sejarah dan berbagai
faktor lainnya, kelompok Tionghoa inilah, kelompok ras, yang selalu menjadi
atau dijadikan masalah minoritas yang paling menonjol, meskipun terdapat
kelompok-kelompok ras lainnya seperti kelompok Arab.
Ada
keanehan lain. Manakala orang berbicara tentang “mayoritas” di negeri ini,
orang biasanya menunjuk mayoritas Islam. Saya belum faham benar, mengapa
demikian. Sebelum agama Islam masuk ke Indonesia, sudah ada mayoritas etnis,
yaitu suku Jawa, yang sampai sekarang masih merupakan mayoritas, konon
kira-kira 40% dari jumlah penduduk Indonesia.
Tetapi
lama kelamaan saya duga identitas kelompok-kelompok etnis ini semakin sulit
dikenali. Saya berharap hal itu akan berlaku juga pada golongan minoritas
Tionghoa, kalaupun lebih sulit.
Tujuan
integrasi bangsa, atau pembauran kalau kita berbicara tentang golongan
minoritas Tionghoa, tidak berarti harus hilangnya identitas ras atau etnis,
meskipun dapat terjadi secara alamiah. Bagi golongan agama, hal itu mungkin
mustahil terjadi.
Sebenarnya
tidak mudah memberi definisi golongan minoritas. Dapat dikatakan,
golongan-golongan minoritas adalah golongan-golongan yang anggota-anggotanya
mengalami perlakuan-perlakuan diskriminatif dan seringkali ditempatkan pada
kedudukan yang relatif rendah dalam struktur status dari sistim sosial. Status
golongan minoritas secara khusus terkaitkan dengan latar belakang ras, suku,
agama, budaya, atau bahasa.
Kaitan
dengan berbagai latar belakang itu penting. Dari segi jumlah, apa yang kita
mengerti sebagai “golongan atas”, bahkan “menengah atas”, entah dari segi
kekayaan, pendidikan, atau kekuasaan, mereka itu juga merupakan “minoritas”.
Meskipun begitu, mereka itu tidak biasa disebut kelompok minoritas dalam
pengertian yang sama ketika kita berbicara tentang minoritas Tionghoa atau
Kristen di Indonesia.
Contoh-contoh
“minoritas” seperti itu di antaranya adalah pemerintahan Presiden Saddam
Hussein di Irak, yang berasal dari minoritas Islam Suni. Di Yordania,
pemerintahan Raja Hussein berasal dari minoritas Beduin. Rezim apartheid di
Afrika Selatan dulu adalah kelompok minoritas kulit putih. (Bersambung)
Apakah
kedua kelompok itu juga termasuk kelompok sosiaL?
Ya, tentu
saja di kategorikan sebagai kelompok sosial
Minoritas ialah kelompok sosial yang tak
menyusun mayoritas populasi total dari voting dominan secara politis dari suatu
kelompok masyarakat tertentu.Minoritas dapat pula merujuk ke kelompok bawahan
maupun marginal. Minoritas sosiologis tak perlu bersifat numerik sebab dapat
mencakup kelompok yang di bawah normal dengan memandang pada kelompok dominan
dalam hal status sosial, pendidikan,
pekerjaan,
kekayaan, dan kekuasaan
politik.Istilah "kelompok minoritas" sering diterapkan
bersama dengan wacana hak asasi manusia dan hak kolektif yang
mengemuka di abad ke-20.
BAGAIMANA
HUBUNGAN ANTARA KEDUANYA?
Mayoritas dan Minoritas
Kinloch berpendapat bahwa kelompok
orang yang disebut sebagai mayoritas adalah orang-orang yang memiliki
kekuasaan, menganggap dirinya normal dan memilik derajat lebih tinggi.
Sedangkan kelmpok lain yang dianggap sebagai kelompok minoritas adalah mereka
yang tidak memiliki kekuasaan, dianggap lebih rendah karena memiliki ciri
tertentu: cacad secara fisik ataupun mental sehingga mereka mengalami
eksploitasi dan diskriminasi. (Kinloch, 1979: 38)
Konsep mayoritas disini didasarkan
oleh dominasi kekuasaan, bukan dominasi oleh jumlah anggota. Kelompok mayoritas
bisa saja berjumlah lebih kecil daripada minoritas. Sebagai contoh adalah saat
politik apartheid dicanangkan di Afrika Selatan, jumlah orang berkulit
putih lebih sedikit daripada jumlah orang berkulit hitam. Akan tetapi kelompok
kulit putih memiliki kuasa terhadap kelompok kulit hitam. Selain itu, hubungan
antarkelompok yang didasarkan konsep mayoritas dan minoritas dipengaruhi juga
oleh konsep kebudayaan mayoritas dominan (dominant majority culture)
yang diangkat oleh Edward M. Bruner.[4] Sebagai contoh adalah di kota Medan terdiri
atas sejumlah kelompok minoritas tanpa adanya suatu kebudayaan yang dominan
sehingga berkembang persaingan yang ketat antara setiap etnik, dan hubungan
antar etnik terjadi ketegangan.